A. Zaman Kedatangan Bangsa Barat
Seorang sejarahwan berbangsa Inggris Furnivall dalam bukunya “
Educational progress in south east asia “ menuliskan keadaan pendidikan
di Asia pada umumya dan Indonesia pada khususnya sebelum bangsa barat
menjajakan kakinya dinegara itu, bahwa “ waktu orang Eropa yang
mula-mula sampai ditimur jauh, didaerah khatulistiwa mereka dapati
sejumlah sekolah dan orang yang pandai tulis-baca lebih banyak daripada
yang ada di Eropa ketika itu”
Orang portugis merupakan salah satu bangsa barat yang pertama kali
datang ke nusantara ini pada permulaan abad 16 dan pada akhir abad itu
muncul pula bangsa Inggris dan belanda. Orang portugis pada mulanya
datang ke Indonesia di dorong oleh semanagat hendak mengembangkan agama
khatolik di samping mencari untung dengan jalan berdagang. Mereka
didorong oleh rasa permusuhan dengan orang Islam dengan maksud untuk
melemahkan kalau tidak menghancurkan perniagaan Islam dengan jalan
mengembangkan agama khatolik. Agama dijadikan dasar utama untuk mendapat
pengaruh dibidang ekonomi dan politik.
Syarat utama untuk memperluas pengaruh agama khatolik ialah mendirikan
sekolah-sekolah. Karena itu sekolah guru yang pertama kali dibentuk di
wilayah Indonesia kita dapati di daerah ternate yang didirikan oleh kaum
pendeta portugis. Bukan hanya itu dipulau-pulau lain disekitar ternate
didirikan sekolah-sekolah yang dibina oleh kaum gerejawan khatolik.
Dengan jalan mengembangkan pendidikan berdasarkan agama khatolik itu
bangsa portugis berusaha untuk dapat berpengaruh dibidang ekonomi dan
politik.namun semua itu mengaami kegagalan karena kecerobohan dan
keserakahan para penguasa mereka sendiri. Pada tahun 1574 mereka diusir
dari ternate dan datanglah bangsa belanda yang uncoba melakukan apa yang
elah dilakukan oleh bangsa portugis.
Jalan yang diambil oleh Belanda untuk manyebarkan pengaruhnya di muka
bumi hampir sama yaitu dengan medirikan sekolah-sekolah pula.
Sekolah-sekolah kompeni yang pertama kali kita dapati didaerah-daerah
kepulauan rempah-rempah seperti ambon, Ternate, Bacan dan kemudian ke
Batavia, pusat kekuatan ekonomi dan politik mereka. Jadi Belanda pun
menenempengaruhnya di bidang ekonomi dan politik dengan mendirikan
sekolah-sekolah.
Cara mengajar di sekoalh sekoalh itu tidak banyak berbeda dengan car
yang dilakukan di langgar-langgar pada waktu di indonesia. Hanya isi
pelajaran yang berbeda hnya isi pelajaran yang berbeda. Dasar
sekolah-sekolah kompeni itu ialah ajaran agama Kristen protestan.
Revolusi prancis berpengaruh pula di Indonesia dibidang pendidikan.
Deandels (1808-1811) membawa semangat revolusi itu ke Indonesia
pendidikan yang berdasarkan agama Kristen di tinggalkan oleh Deandels.
Dalam tahun 1808 ditugaskannya kepada par bupati di jawa untuk
mendirikan sekolah-sekolah, yang memberikan pendidikan berdasarkan adat
istiadat, undang-undang dan agama islam.
B. PENDIDIKAN PADA ZAMAN BELANDA ABAD KE-19
Tugas utama VOC hanyalah dalam usaha dagang, masalah pendidikan
daerah luar pulau Jawa kurang mendapat perhatian mereka. Tercatat pada
tahun 1779 murid-murid VOC di pantai barat pulau Sumatera hanya sebanyak
37 orang saja.1). Tiga puluh tujuh orang murid yang terdapat pada
tahun 1779 di pantai Barat Sumatera menunjukkan kurangnya perhatian
mereka terhadap bidang pendidikan, karena jauh sebelumnya mereka juga
berkuasa di daerah ini. Selama satu abad berkuasa di daerah itu hanya
mempunyai murid sebanyak 37 orang, merupakan suatu pekerjaan yang
sebetulnya dihadapi tidak dengan sungguh-sungguh dan memang pokok
perhatian VOC pada waktu itu hanya kepada perdagangan.
Perusahaan dagang Belanda yang bernama Verenigde Oosf lndische
Compagnie (VOC), pada tanggal 1 Januari 1800 terpaksa dibubarkan oleh
Pemerintah Belanda. Semenjak itu seluruh daerah Indonesia menjadi tanah
jajahan Kerajaan Belanda yang diurus oleh suatu badan yang bernama
Aziatische Road. Seluruh kekayaan perusahaan VOC dan seluruh hutang
piutangnya jatuh ketangan Kerajaan Belanda yang pada saat itu masih
berstatus sebagai Bataafsche Republik yang tunduk kepada Perancis 2).
Pemerintahan Kerajaan Belanda mengirim Mr. Herman Daendels ke Indonesia
sebagai Gubemur Jendral yang baru pada tahun 1808. Daendels yang
terkenal cakap, berusaha mengatur pertahanan Indonesia dengan tangan
besi. Tetapi bagaimanapun dia berusaha tidak dapat menahan serbuan
Inggris yang pada saat itu merupakan suatu negara yang kuat di dunia.
Pertahanan yang telah diatur Daendels dengan sudah dapat dipatahkan oleh
Inggris, sehingga Inggris mulai tahun 1811 berkuasa selama lima tahun.
Indonesia beralih menjadi jajahan Inggris, di bawah pengawasan Lord
Minto, yaitu
Gubernur Jendral Inggris untuk jajahannya di Asia Selatan-Tenggara yang
berkedudukan di Kalkuta. Raffles sebagai Wakil Gubernur Jendral Inggris
dengan pangkat Letnan Jenderal yang berkedudukan di Batavia menjadi
penguasa di Indonesia sampai tahun 1816.
Tetapi karena perkembangan politik di Eropa yang masih belum stabil,
maka tanggal 12 Maret 1816 Indonesia diserahkan kembali kepada Belanda
oleh John Fendall yang menggantikan Raffles.
Belanda berpendapat untuk memajukan pemerintahan, tenaga bumiputera
yang diangkat menjadi kepala pemerintahan berdasarkan keturunan dan
kharismasi seperti “Regent”, tidak dapat lagi dipertahankan dan harus
segera diganti dengan tenaga yang cakap dan dididik khusus untuk itu.
Oleh karena itu, Belanda merasa perlu untuk mendirikan lembaga
pendidikan di Indonesia.
Tujuan mendirikan lembaga pendidikan oleh Belanda terutama bukan
untuk kepentingan orang Indonesia, tetapi sesungguhnya adalah untuk
kepentingan mereka, yaitu untuk mengisi jabatan rendah dalam
pemerintahan dan untuk mengisi tenaga pada perusahaan swasta Belanda.
Belanda mengeluarkan peraturan bahwa yang akan diangkat menjadi pegawai
pemerintah maupun kepala daerah setempat harus memenuhi syarat
pendidikan menurut ukuran Barat.Untuk perusahaan yang bergerak di bidang
pertanian (onderneming), pertambangan, dan pabrik diperlukan tenaga
terdidik yang cakap tetapi murah. Dengan demikian lembaga pendidikan
yang pertama-tama didirikan untuk orang Indonesia adalah lembaga
pendidikan rendah.
Hal tersebut sesuai dengan landasan idial pendidikan pada zaman Hindia Belanda yang dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Pemerintah berusaha untuk tidak memihak kepada salah satu agama tertentu.
2. Pendidikan tidak diusahakan untuk dapat hidup selaras dengan
lingkungan, tetapi supaya anak didik di kelak kemudian hari dapat
mencari penghidupan atau pekerjaan demi untuk kepentingan pemerintah.
3. Sistem persekolahan disusun menurut perbedaan lapisan sosial yang ada dalam masyarakat Indonesia, khususnya di pulau Jawa.
4. Pada umumnya pendidikan diarahkan untuk membentuk suatu golongan
elite sosial agar dapat dipakai sebagai alat bagi kepentingan atau
keperluan supremasi politik dan ekonomi Belanda di Indonesia.
Berdasarkan tujuan itu mereka mendirikan lembaga pendidikan, yang
dapat diterima di sekolah adalah anak golongan tertentu saja, misalnya
pemimpin masyarakai atau tokoh terkenal yang disenangi Belanda. Yang
dapat diterima di sekolah Belanda adalah anak dari orang yang diharapkan
Belanda mau bekerja sama untuk kepentingan Belanda. Keadaan itu
mendorong timbulnya sekolah swasta yang didirikan orang yang kurang
menyukai Belanda itu, seperti golongan Islam. Mereka membuka sekolah
swasta sebagai reaksi terhadap tindakan Belanda di bidang persekolahan.
Selama sebelas tahun dari pembukaannya bahasa Belanda belum
diajarkan, karena murid yang diterima pada mulanya anak yang belum kenal
bahasa Belanda. Pada tahun 1865, bahasa Belanda mulai diajarkan, murid
sekolah tersebut bertambah bangga, karena mereka sudah pandai
mempergunakan bahasa asing. Derajat mereka di tengah masyarakat
bertambah tinggi. Pada tahun 1871, bahasa Belanda sudah merupakan bahasa
wajib yang harus dipelajari oleh semua murid dan harus lulus dengan
baik, tamatan Sekolah-sekolah harus pandai berbahasa Belanda dengan
lancar. Semenjak itu ukuran kepandaian murid adalah kecakapan mereka
dalam mempergunakan bahasa Belanda sehari-hari. Selanjutnya empat belas
tahun kemudian bahasa Belanda dijadikan bahasa pengantar di Sekolah.
Sewaktu bahasa Belanda sudah merupakan bahasa Wajib di Sekolah,
sekolah lain yang lebih rendah tingkatannya sudah banyak didirikan oleh
Belanda seperti sekolah : Valksschool, Vervolgschool, Sekolah Kelas
Satu, dan beberapa sekolah kejuruan Indonesia.
Akibat sampingan dari dibukanya sekolah oleh Belanda adalah munculnya
golongan terpelajar dengan hati dan mata yang telah terbuka melihat
kepincangan yang dijalankan pemerintah Hindia Belanda selama ini di
Indonesia. Mereka dapat melihat kemelaratan masyarakat pada umumnya dan
menumbuhkan cara berfikir yang kritis. Timbul daya kritik yang tajam
terhadap pemerintah Belanda mengenai adanya kemiskinan dan kesengsaraan
hidup masyarakat yang oleh Belanda selama ini didiamkan saja. Daya
kritis itu mereka lontarkan pada bangsa asing yang sedang berkuasa.
Dari mereka yang berfikiran maju itu lahir pejuang kemerdekaan
Indonesia yang rela berkorban untuk kepentingan kemerdekaan. Mereka
inilah yang akan menjadi pelopor mendobrak kekuasaan Belanda dari
Indonesia. Pada waktu itu mereka hanya dapat berdiam diri saja, karena
jumlah mereka belum banyak dan tidak semua tamatan Sekolah yang
berfikiran maju demikian. Banyak juga di antaranya yang betul-betul
bekerja dengan Belanda dan tidak mau ikut dengan perjuangan bangsanya.
Tujuan Belanda pada mulanya mendirikan sekolah hanyalah untuk
memantapkan administrasi pemerintahan yang memerlukan tenaga terdidik.
Namun, semakin cerdasnya bangsa indonesia kita menjadis adar bahwa
bangsa kita hanya dimanfaatkan hanya untuk menguatkan pengaruh bangsa
belanda di indonesia. Pada saat itu mereka terpaksa diam saja, karena
mereka belum merupakan golongan yang kuat yang dapat meruntuhkan
kekuasaan Belanda yang telah tertanam kuat. Pada lahirnya mereka
merupakan petugas pemerintah Belanda, tetapi pada batinnya mereka
merupakan embrio kekuatan baru yang pada saatnya muncul menjadi pelopor
dalam perjuangan. Pada akhir abad ke-19 sudah terlihat munculnya embrio
pelopor kemerdekaan yang berasal dari anak asuhan.
BAB II
PENDIDIKAN ABAD KE-20
A. PENDIDIKAN PEMERINTAH HINDIA BELANDA
Politik pendidikan etis
Semenjak permulaan abad kedua puluh di seluruh permukaan bumi terdapat
perkembangan dan pembaharuan,khususnya di bidang politik,ekonomi,dan
idiil,demikian pula di indonesia.dengan demikan mereka membutuhkan
pekerja-pekerja yang terdidik dan ahli.selain itu penduduk bumiputera
itu sendiri mulai bangkit dan menyadarinya namun, secara menyeluruh bagi
rakyat pada umumnya tidak dapat dirasakan adanya perbaikan-perbaikan
sosial. Dikalangan orang belanda timbul aliran untuk memberi kepada
penduduk asli bagian dari keuntungan yang diperoleh orang eropa (
belanda), selama mereka menguasai indonesia aliran ini mempunyai
pendapat bahwa kepada orang-orang bumiputera harus diperkenalkan
kebudayaan dan pengetahuan barat yang telah belanda bangsa yang besar
aliran atau paham ini dikenal dengan politik etis ( Etische politiek ).
gagasan itu dicetuskan oleh Van deventer pada tahun 1899. politik etis
ini diarahkan untuk kepentingan penduduk bumi putera dengan cara
memajukan penduduk asli secepat-cepatnya melalui pendidikan secara
barat.
Berkaitan dengan arah etis yang menjadi landasan dari langkah-langkah
dalam pendidikan hindia belanda maka pemerintah mendasarkan
kebijaksanaannya pada pokok-pokok pikiran sebagai berikut:
1. pendidikan dan pengetahuan barat diterapkan sebanyak mungkin bagi golongan penduduk bumi putera.
2. pemberian pendidikan rendah bagi golonan bumiputera disesuaikan dengan kebutuhan mereka.
Atas dasar itu maka corak dan system pendidikan di hindia belanda pad
abad 20 ditempuh melalui dua jalur disatu pihak diharapkan dapat
terpenuhi kebutuhan akan unsure-unsur dari lapisan atas serta tenaga
terdidik bermutu tinggi bagi kebutuhan ekonomi dan industri dan dilain
pihak terpenuhi tenaga menegah dan rendah yang berpendidikan.
A. PENDIDIKAN PERGERAKAN NASIONAL
1. Motivasi
a. Motivasi Nasional
Pendirian sekolah menimbulkan golongan baru di dalam masyarakat,
yaitu “Golongan Intelektual Barat”, yang merupakan orang cerdik pandai.
Kebanyakan mereka bekerja pada pemerintahan Belanda dan mendapat
beberapa fasilitas. Pada dasarnya mereka tidak memperoleh perlakuan yang
wajar dari pemerintah Hindia Belanda. Mereka adalah aparat bagi Belanda
dalam memantapkan pemerintahan dan memperkuat kedudukannya. Di antara
golongan Intelektual Barat itu ada yang sungguh-sungguh bekerja untuk
kepentingan Belanda dan hidup menurut cara orang Belanda.
Sementara itu ada golongan yang tidak bersedia bekerja sama dengan
Belanda dan menentang kekuasaan Belanda dan orang Barat. Tetapi
sebaliknya mereka mengangungkan adat kebiasaan dan kebudayaan Timur.
Dari golongan inilah muncul tokoh pergerakan nasional Indonesia, yang
memperjuangkan kemerdekaan. Mereka tidak puas melihat sistem pendidikan
yang diselenggarakan pemerintah Belanda, walaupun telah diselenggarakan
pendidikan untuk rakyat. Mereka mengharapkan pendidikan yang lebih
sesuai dengan keadaan dan kebutuhan rakyat. Pendidikan Barat belum tentu
sesuai bagi rakyat Indonesia. Apa yang datang dari Barat itu tidak
selamanya selaras dengan kehidupan rakyat. Sebaiknya pendidikan yang
diberikan sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia.
Pendidikan yang mereka dambakan itu lebih terasa lagi kebutuhannya
setelah melihat usaha yang dilakukan beberapa pemimpin di Jawa yang
mendirikan sekolah swasta sebagai reaksi terhadap ketidak cocokan unsur
pendidikan Barat yang dilaksanakan di Indonesia. Keinginan itu tidak
mungkin tercapai kalau sekiranya bangsa Belanda masih berkuasa karena
itu, cara memperoleh pendidikan yang baik harus menyingkirkan bangsa
Belanda dari Indonesia. Karena pada waktu itu kekuasaan Belanda masih
kuat. maka usaha pertama mereka adalah menyusun kekuatan dari orang yang
sehaluan dengan tujuan terakhir kemerdekaan Indonesia. Sementara itu
mereka juga berusaha agar rakyat mendapat pendidikan dengan
sebanyak-banyaknya.
Keinginan yang demikian melahirkan pendidikan Nasional yang sesuai
dengan kepribadian dan kebutuhan bangsa Indonesia. Golongan ini
memperjuangkan nasib untuk mendapat kehidupan yang layak seperti bangsa
lain.
b. Motivasi Keagamaan
Semenjak Tuanku Imam Bonjol ditangkap dan dibuang ke luar Sumatera
Barat oleh pemerintah Belanda, maka rakyat kehilangan seorang pemimpin
yang mereka hormati dan cintai, lebih-lebih sebagai pemimpin agama.
Namun demikian menjelang akhir abad ke-19 orang Sumatera Barat telah
diizinkan menunaikan ibadah haji ke Mekah.
Pada wktu itu di Mekah ada seorang Sumatera Barat yang telah lama
bermukim di sana dan menjadi salah seorang guru besar di bidang agama
Islam, yang bernama Syekh Akhmad Khatib. Beliau selalu memberi petunjuk
kepada orang Sumatera Barat yang menunaikan Rukun Islam Kelima itu ke
Mekah tentang peraturan agama Islam dan pendidikan Islam. Banyak pemuda
Sumatera Barat yang naik Haji pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20,
yang menjadi murid Syekh Akhmad Khatib di Mekah. Di samping menunaikan
rukun Haji mereka juga bermukim di sana selama beberapa tahun sambil
menuntut ilmu pengetahuan tentang Islam secara lebih mendalam. Setelah
mereka pulang ke Sumatera Barat, mereka melihat pendidikan Islam berbeda
dengan apa yang diajarkan oleh Syekh Akhmad Khatib. Pendidikan Islam
dengan sistem halaqah tidak akan mendatangkan kemajuan kepada umat Islam
Sumatera Barat. Oleh karena itu, timbul niat mereka untuk mengadakan
perbaikan dan pembaharuan di bidang pendidikan Islam Sumatera Barat.
Di antara mereka yang pulang dari Mekah yang menonjol antara lain
adalah Syekh Haji Abdullah Ahmad, Syekh H. Abdul Karim Amarullah, Syekh
Muhammad Jamil Jambek, Syekh lbrahim Musa Parabek, dan Syekh Daud
Rasyidi. Mereka merupakan pembaharuan dalam Pendidikan Islam di Sumatera
Barat. Walaupun cara mereka ada yang berbeda, tetapi tujuannya sama,
yaitu mengenai pembaharuan pendidikan dari sistem halaqah atau sistem
surau ke sistem sekolah dengan tetap berdasarkan pada agama Islam
sebagai pokok pendidikan. Dari pembaharuan yang dimulai pada awal abad
ke-20 itu lahir pendidikan Islam yang bercorak nasional, seperti
Sumatera Thawalib, Sekolah Diniah, Sekolah Adabiah, dan sekolah yang
dibina oleh organisasi Islam seperti Muhammadiyah, Perti dan Permi.
Pada zaman itu orang nusantara yang sebahagian besar menganut agama
Islam masih menjalankan praktek yang sebetulnya dilarang oleh agama
Islam. Apabila keadaan yang demikian tetap dibiarkan, maka umat Islam
tetap tertinggal dari perkembangan zaman. Bagi para pembaharuan
perkembangan Agama Islam dengan pergerakan kemerdekaan, merupakan
perpaduan yang menimbulkan semangat melaksanakan pembaharuan di bidang
pendidikan Islam. Mereka melihat hasil pendidikan Barat yang diberikan
pemerintah Hindia Belanda tidak begitu mendatangkan manfaat, hasil
pendidikan itu telah menghilangkan moral ke-Timuran. Keadaan itu jika
dibiarkan berlangsung terus akan membahayakan kehidupan orang yang
menganut agama Islam. Oleh karena itu, mereka berusaha mengimbangi
dengan mengadakan pembaharuan pendidikan Islam. Pendidikan Islam
tersedia untuk semua orang, baik mereka yang tergolong berpangkat,
pegawai Belanda, maupun berasal dari orang kebanyakan. Supaya dapat
dengan segera memberikan pendidikan menurut cara Barat, mereka
memberikan kemudahan dalam memasuki sekolah Islam tersebut seperti yang
dilakukan oleh Muhammadiah. Dengan demikian sekolah yang bercorak Islam
dengan cepat dapat berkembang ke seluruh daerah sampai ke daerah yang
terpencil sekalipun. ltulah sebabnya perkumpulan politik Islam yang
mengasuh sekolah mendapat sambutan dari rakyat.
Usaha dari tokoh pembaharu pendidikan Islam itu mendapat dukungan dan
sambutan dari masyarakat, karena sudah lama mereka nantikan.
Pada mulanya pemerintah Belanda tidak menaruh kecurigaan kepada usaha
ini, karena kelihatannya hanya bergerak di bidang pendidikan. Kemudian
setelah mereka mengikuti kegiatan politiknya, barulah langkah mereka itu
dihalang-halangi oleh pemerintah Belanda.
Pendidikan Pergerakan nasional dimulai dengan lembaga pendidikan
Islam yang dipelopori oleh Syekh-Syekh Islam, yaitu ulama Islam yang
telah membawa faham baru dari Mekah dan Mesir. Sedangkan lembaga
pendidikan pergerakan nasional yang bukan bercorak Islam kemudian
bermunculan.
2. Kelembagaan
a. Sekolah Adabiah
Pendidikan Islam sebelum tahun 1909 dilaksanakan dengan sistem surau
tanpa diadakan pembahagian kelas yang terpisah serta belum mempergunakan
meja, kursi, papan tulis, kapur, dan lain-lain seperti yang
dipergunakan dalam semester sekolah. Murid duduk bersila di sekitar atau
di hadapan guru, semua murid terdiri dari laki-laki saja dan belum ada
murid perempuan.
Mulai tahun 1909 keadaan tersebut mengalami perubahan dengan
didirikannya Sekolah Adabiah (Adabiah School) Sekolah Adabiah
betul-betul telah mengganti sistem pendidikan Islam yang bukan lagi
diartikan berusaha mengetahui segala ajaran agama Islam dengan
sedalam-dalamnya tanpa memperhatikan tingkat kecerdasan, umur, dan
lingkungan muridnya. Pendidikan itu sudah diartikan sebagai pendidikan
umum terhadap murid untuk melatih cara berpikir logis dan kritis guna
menghadapi keadaan sekitarnya atau lingkungan penghidupannya.
Untuk mencapai tujuan itu Sekolah Adabiah juga memberikan
pengetahuan umum seperti menulis, membaca, berhitung, ilmu bumi, dan
bahasa, di samping pengetahun tentang agama Islam. Tujuan pelajaran
bukan lagi untuk memompakan pengetahuan Islam sebanyak-banyaknya,
melainkan diarahkan untuk melatih kecerdasan murid. Murid yang diterima
juga dipilih dari anak umur sekolah dasar antara 7 – 8 tahun, dan orang
dewasa tidak lagi diterima seperti pada pendidikan surau.
Materi pelajaran yang diberikan disesuaikan dengan tingkat kecerdasan
murid, dimulai dengan pelajaran yang mudah terus dilanjutkan secara
berangsur sampai selesai tingkat pengetahuan dasar. Cara penyajian juga
sudah disusun sedemikian sehingga mudah dipahami oleh anak-anak.
Murid dikelompokkan menurut kelas masing-masing dengan usia anak yang
hampir sama. Pada Sekolah Adabiah sudah terdapat pembahagian kelas,
seperti kelas I, II, III, dan seterusnya. Murid yang baru diterima
ditempatkan pada kelas satu dan tahun berikutnya apabila sudah dapat
memahami pelajaran dinaikkan ke kelas dua dan begitu seterusnya sampai
kelas terakhir.
Pengaturan duduk murid dalam kelas juga berbeda dengan cara duduk
sistem surau di mana murid menduduki bangku (kursi dan meja) yang sudah
diatur menghadap kesatu arah. Di hadapan murid terdapat meja dan kursi
guru serta papan tulis sebagai alat bantu pengajaran. Murid dalam satu
kelas langsung dapat mendengarkan pelajaran yang diberikan guru,
sedangkan murid disuruh menyimak. Tidak lagi seperti sistem surau di
mana murid diberi pelajaran satu persatu, kelas tidak lagi ribut, karena
murid-murid tidak diperkenankan berbicara selama pelajaran berlangsung.
Pelajaran juga telah diatur dalam suatu jadwal tertentu dan teratur.
Satu hari hanya belajar kira-kira 5 jam yang diselingi oleh beberapa
kali waktu istirahat. Di dalam waktu yang 5 jam itu dibagi lagi dalam
tiga bahagian dan masing-masing bahagian diselingi oleh waktu istirahat
secukupnya. Ke dalam bahagian itu dimasukkan 3 atau 4 mata pelajaran
yang akan diberikan untuk satu hari. Jadwal pelajaran disusun perminggu,
artinya dalam satu minggu semua jenis materi pelajaran harus
diberikan dan minggu depan kembali lagi seperti minggu sebelumnya
dengan materi pelajaran lanjutan minggu sebelumnya. Materi pelajaran
tidak boleh menyimpang dari bahan yang telah ditetapkan dalam kurikulum.
Untuk menentukan seorang murid naik atau tinggal kelas diadakan
ujian atau ulangan terhadap materi pelajaran yang telah diberikan.
Prestasi seorang murid dinyatakan dalam bentuk angka 0 sampai 10. Nilai
10 menyatakan prestasi murid terbaik, sebaliknya nilai 0 menyatakan
prestasi yang paling buruk yang dicapai oleh seorang murid.
Dalam menentukan kemampuan seorang murid berbeda dengan sistem
surau, pada madrasah kemampuan murid diukur hanya penguasaan bahan
pelajaran selama satu tahun saja sedangkan pada tahun terakhir dari
pendidikannya diadakan ujian umum. Pengukuran kemampuan murid dilakukan
secara bertahap tidak sekaligus seperti pada sistem surau.
Penyelengaraan Sekolah Adabiah betul-betul sudah merupakan
perkembangan baru dalam pendidikan, khususnya dalam pendidikan Islam.
Jika diperhatikan situasi dan kondisi politik pemerintah Belanda di
Indonesia pada waktu itu, khususnya dalam politik persekolahan, maka
pendirian Sekolah Adabiah tidak bertentangan dengan politik pendidikan
pemerintah Hindia Belanda. Mulai pertengahan abad ke-19 sampai abad
ke-20 pemerintah Hindia Belanda banyak melakukan perubahan atau
perbaikan terhadap politik sebelumnya dalam bidang pemerintahan dan
pendidikan. Khusus di bidang pendidikan banyak lembaga pendidikan
didirikan seperti Sekolah Desa, Sekolah Kelas Dua, Sekolah Kelas Satu,
Volkschool, Vervoigschool, HIS, MULO, AMS, HBS, Stovia, THS, RHS, dan
lain-lain. Di Sumatera Barat hanya didirikan sekolah sampai tingkat AMS
dan HBS saja, yaitu sampai tingkat sekolah menengah atas, yang paling
banyak adalah Sekolah Kelas Dua.
Walaupun jumlah sekolah makin bertambah, rakyat hampir tidak
mempunyai arti untuk masuk sekolah itu sulit bagi rakyat biasa. Sekolah
itu bertujuan untuk mendapatkan tenaga terlatih yang murah untuk
mengerjakan kepentingan Belanda. Murid yang dapat diterima pada sekolah
tersebut terbatas jumlahnya.
b. Madras School
Berbeda dengan Sekolah Adabiah, Madras School hanya membuka satu
kelas saja yaitu kelas yang telah tinggi tingkatannya untuk membaca dan
mempelajari kitab-kitab yang besar/tebal saja seperti tingkat tinggi
pada Pengajian Kitab pada masa peralihan sebelumnya, tetapi dengan
memakai sistem madrasah.
Murid yang satu kelas pada Madras School diajak berdiskusi tentang
mata pelajaran yang diajarkan. Kitab-kitab besar yang dimaksud adalah
buku-buku yang tebal yang belum dipelajari pada tingkatan sebelumnya.
Selama satu tahun itu mereka disuruh berdebat tentang isi buku tersebut
sampai mereka mengerti dan memahaminya dengan baik. Kepada mereka tidak
dipompakan lagi pengetahuan tentang Islam, tetapi mereka sendiri yang
mencarinya dengan berdiskusi di bawah bimbingan guru. Tamatan Madras
School menjadi ulama yang luas pandangannya tentang Islam dan kehidupan
manusia.
Calon murid Madras School diterima dari tamatan pendidikan surau atau
dari ulama yang ingin memperdalam ilmunya. Semua murid sudah merupakan
orang yang berpengalaman di lapangan, baik sebagai guru maupun sebagai
mubalig. Mereka masuk Madras School hanya untuk memperkuat ilmu yang
telah mereka miliki. Walaupun hanya satu tahun lama pendidikannya,
tetapi hasilnya mereka peroleh sangat banyak.
c. Madrasah Diniah
Pada tahun 1915 Zainuddin Labai AI-Yunusi mendirikan Madrasah Diniah
di Padang Panjang dengan nama pada waktu itu “Diniah School” 3)
Menurut HMD Datuk Palimo Kayo alasan pendirian Madrasah Diniah adalah sebagai berikut:
“Dengan hasil pemikiran yang mendalam, pada tanggal 15 Oktober 1915,
tuan Zainuddin Labai EI-Yunusi meresmikan pendirian sebuah sekolah Islam
yang bani dengan metode yang baru bersama Diniah School atau
Madrasatuddiniyah. Selain dari mengajarkan pelajaran agama sebagaimana
biasa, juga mengajarkan pelajaran yang biasa disebut vak umum, seperti
menulis, membaca, berhitung, Ilmu Falak, Ilmu Bumi, Ilmu Alam, Ilmu
Kesehatan, Ilmu Tumbuh-tumbuhan dan Ilmu Pendidikan. Sesungguhnya hebat
dan mengagumkan. Itulah perguruan Islam yang termodern dewasa itu,
dengan bangku, meja, dan kelas-kelas yang teratur, walaupun dengan cara
yang sederhana.4)
Sekolah Diniah merupakan sekolah Islam yang memasukkan mata pelajaran
umum ke dalam kurikulumnya seperti yang dilakukan pada sekolah Belanda.
Namun antara Sekolah Adabiah dengan Sekolah Diniah terdapat perbedaan.
Sekolah Adabiah merupakan pelopor pembaharuan pendidikan Islam dengan
sistem sekolah, sedangkan Sekolah Diniah melakukan pembaharuan
pendidikan agama dengan menambahkan mata pelajaran umum kepada mata
pelajaran agama yang telah ada. Dengan demikian mata pelajaran pada
Sekolah Diniah lebih banyak dari Sekolah Adabiah dan dari sekolah agama
lain maupun dari sekolah pemerintah Hindia Belanda.
Pada umumnya Sekolah Diniah terdiri dari 7 kelas, yaitu kelas satu
sampai dengan kelas tujuh. Tetapi di desa-desa yang tidak mempunyai guru
yang cukup, maka kelas Sekolah Diniah hanya sampai kelas empat atau
kelas lima saja, sedangkan untuk melanjutkan mereka harus pergi ke
Sekolah Diniah yang mempunyai kelas yang cukup sampai kelas tujuh.
d. Arabiah School
Pada tahun 1918 Syekh Abbas Ladang Lawas Bukittinggi mendirikan pula
sebuah madrasah dengan nama “Arabiah School” di Ladang Lawas,
Bukittinggi. Ruang pendidikannya sudah mempunyai kelas yang terdiri dari
tiga lokal berdinding bambu atap rumbia, tetapi sudah mempunyai bangku,
meja, papan tulis, dan kapur.5)
Arabiah School adalah gagasan dari Syekh Abbas Ladang Lawas yang
kemudian menjadi pendorong berdirinya Persatuan Tarbiah Islamiah (PERTI)
yang mengusahakan beberapa sekolah.
Kurikulum atau mata pelajaran yang diberikan pada setiap sekolah
Islam, walaupun namanya sama, tetapi pelajarannya berbeda. Materi
pelajaran agama Islam Sekolah Arabiah tidak sama dengan materi pelajaran
Sekolah Diniah walaupun tingkat dan kelasnya sama, apalagi dengan
Madras School. Antara sekolah Diniah sendiripun tidak ada yang sama
materi pelajarannya, misalnya mata pelajaran Sekolah Diniah di Padang
Panjang tidak sama mata pelajarannya dengan Sekolah Diniah yang di
Bukittinggi. Penetapan mata pelajaran atau kurikulum yang akan dipakai
pada masing-masing sekolah itu sangat tergantung pada sesepuh yang
mendirikan sekolah itu. Keadaan itu sangat jauh berbeda dengan sekolah
yang didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda yang sama mata pelajaran
yang diberikan untuk tingkat yang sama di manapun sekolah itu terdapat.
Di samping itu Sekolah Arabiah sudah memberikan mata pelajaran umum
dalam porsi yang lebih banyak, walaupun pendidikan agama Islam merupakan
mata pelajaran utama, tetapi Madras School dan Sekolah Diniah seluruh
mata pelajarannya masih berpangkal dari agama Islam yang ditambahkan
denganmata pelajaran umum.
E. Muhammadiyah
salah satu tujuan Muhammadiyah adalah untuk memajukan dan
menggembirakan pengajaran dan pelajaran agama Islam, seperti tercantum
dalam Anggaran Dasarnya pasal I, ayat 1 6), maka mereka giat bergerak di
bidang pendidikan Islam. Seluruh sekolah Muhammadiyah sudah berbentuk
madrasah, bahkan ada yang sama dengan sekolah pemerintah Hindia Belanda.
Dalam mempergiat dan memperdalam penyelidikan ilmu agama Islam,
Muhammadiyah memajukan dan memperbaharui pendidikan, pengajaran dan
kebudayaan serta memperluas ilmu pengetahuan menurut tuntutan agama
Islam.
Melalui Majelis Tablig Muhammadiyah berusaha menyadarkan rakyat akan
pentingnya pendidikan untuk memperbaiki nasib dan kehidupan manusia
sekarang dan di hari depan. Masalah pendidikan bukanlah perorangan,
melainkan merupakan masalah bersama umat manusia. Muhammadiyah siap
memberikan pembinaan bimbingan dan pengarahan yang dibutuhkan.
Sekolah Muhammadiyah, yang didirikan sampai pecah Perang Dunia II sebagai berikut:
1) Sekolah Agama Islam
Jenis sekolah ini terdiri dari dua macam, yaitu lbtidaiyah dan
Tsanawiyah, titik berat pelajaran adalah tentang agama Islam, mata
pelajaran umum hanya sebagai tambahan. Namun demikian sudah hampir
seluruh sekolah lbtidaiyah dan Tsanawiyah memasukkan mata pelajaran umum
ke dalam kurikulumnya. lbtidaiyah hampir terdapat di semua nagari di
Sumatera Barat karena pada waktu itu jumlah lbtidaiyah seluruhnya adalah
300 buah.
2) Sekolah Umum
Sekolah umum yang didirikan Muhammadiyah terdiri dari Sekolah Desa,
Sekolah Sambungan, Sekolah Schakel, dan HIS Muhammadiyah. Perbedaan
sekolah umum Muhammadiyah dengan sekolah umum yang didirikan pemerintah
Hindia Belanda di Sumatera Barat adalah bahwa pada sekolah Muhammadiyah
diberikan 20 % pelajaran agama Islam sedangkan pada sekolah Belanda mata
pelajaran agama hanya merupakan sebuah mata pelajaran saja. Di samping
itu sekolah Muhammadiyah berstatus swasta.
Pada umumnya pembukaan sekolah umum Muhammadiyah memberikan
kesempatan yang lebih luas kepada rakyat untuk mendapatkan pendidikan
umum sebagai reaksi terhadap sistem persekolahan Belanda yang sangat
membatasi penerimaan murid. Untuk masuk sekolah pemerintah Hindia
Belanda bagi rakyat biasa sukar sekali, akibatnya banyak anak desa yang
tidak bersekolah. Hal itulah yang ditembus oleh Muhammadiyah dengan
mendirikan sekolah, karena banyak anak tinggal di desa, maka sekolah
Muhammadiyah lebih banyak didirikan di desa dengan nama Sekolah Desa dan
Sekolah Sambungan. Murid yang dapat diterima dari segala lapisan.
Kenyataannya yang masuk sekolah tersebut adalah anak petani, saudagar,
dan anak rakyat biasa yang beragama Islam. Anak pegawai pemerintah
Hindia Belanda, anak orang yang bekerja dengan Belanda lebih suka masuk
ke sekolah yang didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda. HIS
Muhammadiyah juga dimasuki oleh anak rakyat biasa, sekolah tersebut juga
dinamakan “HIS met de Quran”, yaitu HIS yang mempergunakan AI-Quran
yang menunjukkan perbedaan dengan HIS pemerintah. Sebelum Jepang masuk
ke Sumatera Barat HIS Muhammadiyah.
3) Sekolah Guru
Karena pesatnya perkembangan sekolah yang diasuh Muhammadiyah akhirnya
mereka kekurangan tenaga guru. Pada Mulanya masalah ini tidak merupakan
persoalan bagi Muhammadiyah, karena pengurus ranting dan cabang setempat
dapat menjadi guru. Tetapi kemudian sesudah sekolah bertambah banyak,
maka tenaga guru makin berkurang.
Untuk memenuhi kebutuhan tenaga guru Muhammadiyah mendirikan sekolah
guru, untuk guru Sekolah Desa dan Sekolah Menengah. Sekolah guru itu
terdiri dari bermacam-macam pula, yaitu:
a) Sekolah Guru Muhammadiyah (SGM).
SGM didirikan pada tahun 1953 di Padang dengan lama pendidikannya 4
tahun. Pada mulanya SGM bernama Normaal School Muhammadiyah tetapi
karena ada larangan dari pemerintah Belanda bahwa sekolah swasta tidak
boleh memakai nama sekolah pemerintah, akhirnya nama Normaal School
Muhammadiyah ditukar dengan nama Sekolah Guru Muhammadiyah (SGM). Murid
SGM berasal dari Sekolah Skakel dan HIS Muhammadiyah. Sampai tahun 1942
SGM telah dapat menghasilkan tenaga guru, sebanyak 105 orang. 7) Dengan
hasil tersebut secara berangsur-angsur dapat diisi kekurangan tenaga
guru pada sekolah yang berada di bawah asuhan Muhammadiyah
b) Kulliatul Muballigin
Tujuan sekolah ini untuk mencetak mubalig Islam yang akan disebar ke
daerah. Tetapi pada tahun berikutnya Sekolah Tablig mengalami hambatan,
karena Hamka ditugaskan Muhammadiyah ke Sulawesi Selatan. Tetapi karena
desakan dari para tamatan Sekolah Thawalib, Diniah, dan lain-lain maka
akhirnya Sekolah Tablig disempurnakan kembali dengan. tujuan
menghasilkan mubalig dan guru serta kader pimpinan Muhammadiyah untuk
daerah dan menjadi wadah yang menampung tamatan sekolah Thawalib,
Diniah, dan lain-lain yang makin lama jumlahnya makin bertambah banyak.
Sebelumnya pengurus ranting atau cabang Muhammadiyah diambil dari
pemuka agama setempat yang ditugaskan di sekolah Muhammadiyah. Setelah
banyak tamatan Kulliatul Muballigin yang bertugas sebagai guru, kepada
mereka diminta untuk memimpin ranting atau cabang Muhammadiyah setempat.
Hasil pendidikan Islam makin lama makin meningkat, hasil pendidikan
Muhammadiyah, secara tak langsung juga dapat dinikmati oleh rakyat umum,
karena .Muhammadiyah bergerak di bidang sosial.
Tujuan pendirian Kulliatul Muballigin antara lain adalah membentuk
mubalig yang sanggup melaksanakan dakwah dan menjadi khatib Jumat,
menghasilkan guru sekolah menengah tingkat Tsanawiyah dan membentuk
kader pemimpin Muhammadiyah dan pemimpin masyarakat pada umumnya.
Melihat pada tujuan tersebut Muhammadiyah telah mempersiapkan tenaga
yang selalu berdiri di garis depan, seperti guru atau pimpinan sekolah,
imam, dan pemimpin masyarakat. Untuk menjadi guru mereka praktek pada
sekolah lbtidaiyah Muhammadiyah, untuk menjadi imam mereka praktek di
Surau Muhammadiyah, untuk menjadi pimpinan masyarakat mereka praktek
pada gerakan pemuda Muhammadiyah yang bernama Hisbul Wathan (Kepanduan
Muhammadiyah). Setiap murid Kulliatul Muballigin harus melalui latihan
atau praktek tersebut. Untuk latihan atau praktek dipergunakan waktu
sore hari untuk kepanduan, malam hari untuk tablig, pagi hari untuk
praktek di sekolah.
c) Kweek School lstri (KSI)
Putri-putri tamatan Tasnawiyah Putri, Diniyah Putri, Sekolah Desa,
Sekolah Sambungan, HIS Muhammadiyah, dan lain-lain bahagian putri tidak
mau ketinggalan dari Putra. Mereka mendatangi pimpinan Muhaminadiyah
untuk minta didirikan sebuah sekolah guru putri tingkat menengah untuk
menampung mereka melanjutkan sekolah.
Bagi Muhammadiyah permintaan banyak datang dari ranting dan cabang
untuk membuka sekolah menengah khusus untuk putri dan meminta tenaga
guru putri, baik untuk mata pelajaran agama maupun mata pelajaran umum.
Muhammadiyah tidak sanggup memenuhi seluruh permintaan tersebut.
Aisyiah sebagai salah satu anak organisasi Muhammadiyah, bagian putri
menanggapi permintaan tersebut secara positif. Berkat ketekunan para
pengasuh Aisyiah dan melalui berbagai halangan, akhirnya tahun 1937
dapat didirikan Kweeksschool.
Berdasarkan permintaan yang masuk, maka dibuka dua bahagian, yaitu:
Kweek school A khusus mendidik guru mata pelajaran agama Islam, lama
belajar 3 tahun. Murid yang diterima adalah tamatan Tsanawiyah putri,
Diniyah Putri, dan Sekolah Thawalib. Sedangkan Kweekschool B khusus
mendidik guru mata pelajaran umum. Murid yang di terima adalah tamatan
Sekolah Desa, Sekolah Sambungan dan HIS Muhammadiyah. Di samping itu
dapat juga diterima murid yang berasal dari sekolah Gubernemen Belanda.
Semua anak yang telah memenuhi Syarat tanpa melihat asal usul dapat
diterima. Hanya saja yang didahulukan adalah sekolah yang langsung
diasuh Muhammadiyah sendiri.
F. Taman Siswa
Taman Siswa didirikan oleh Ki Hajar Dewantara pada tanggal 3 Juli
1922 di Yogyakarta dengan nama “National Onderwijs Institut Taman
Siswa”8) Tingkat pendidikan yang pertama didirikan adalah Taman Indrya
(Taman Kanak-kanaknya Taman Siswa)9).
Taman Siswa lahir sebagai perlawanan (reaksi) terhadap Pendidikan
Kolonial Belanda10) yang dilaksanakan pemerintah Hindia Belanda waktu
itu di Indonesia.
Taman Siswa menamai cita-cita pendidikannya dengan Pancadharma atau
Lima Kewajiban, yaitu Dasar Kodrat Alam, Dasar Kemerdekaan, Dasar
Kebudayaan, Dasar Kebangsaan, dan Dasar Kemanusiaan 11)
Ketika Pemerintah Hindia Belanda mulai menjalankan Ordonansi Sekolah
Liar pada tahun 1932, Taman Siswa mendapat dukungan partai politik dalam
menentang Ordonansi tersebut, sehingga perhatian rakyat terhadap Taman
Siswa bertambah besar. Mulai semenjak itu sayap Taman Siswa mulai
menjalar ke daerah-daerah. Permintaan untuk mendirikan Taman Siswa makin
bertambah banyak.
Perkembangan Taman Siswa sampai tahun 1980 sebagai berikut:
Jumlah murid : 2642 orang, Jumlah Pamong : 38 orang tenaga tetap 94
orang tenaga tidak tetap, Jumlah lokal : 48 buah Jenis Sekolah : sebuah
Taman Muda (SD) sebuah Taman Dewasa (SMP) sebuah Taman Madya (SMA)
sebuah Taman Karya Madya (STM)
G. Training College
Tujuan pendidikan Training College antara lain adalah untuk membentuk
kader pemimpin masyarakat yang berpengetahuan tingkat tinggi guna
segera diterjunkan ke tengah masyarakat sehubungan dengan makin
meningkatnya Pergerakan Kemerdekaan Indonesia.
Para pendiri Training College melihat bahwa kebanyakan anggota
masyarakat tidak mengetahui situasi dan kondisi masyarakat Indonesia
pada waktu itu. Apabila keadaan ini dibiarkan terus tidak menunjang
perjuangan Indonesia mencapai kemerdekaan. Oleh karena itu rakyat harus
dibimbing ke arah yang benar dan disadarkan akan adanya penjajahan
Belanda. Untuk mencapai tujuan tersebut harus dipersiapkan pemimpin
yang cakap dan Training College merupakan wadah yang tepat untuk
menggodok calon pemimpin masyarakat tersebut.
Dengan tujuan yang demikian Training College bukan saja memberikan
ilmu pengetahuan yang tinggi kepada muridnya, tetapi juga mendidik para
pejuang kemerdekaan yang akan memimpin masyarakat sekitarnya menghadapi
penjajahan Belanda. Pendirian Training College ini mendapat sokongan
dari masyarakat dan tokoh politik pada waktu itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar